Di tengah rasa haus gamer akan game open-world baru yang bisa menyaingi dominasi Grand Theft Auto, muncul Mind’s Eye—game third-person bertema aksi futuristik yang awalnya bikin banyak orang excited. Apalagi, game ini disutradarai oleh Leslie Benzies, mantan otak di balik suksesnya GTA 3 sampai GTA 5. Ekspektasi jelas tinggi. Tapi kenyataannya? Yang datang bukan game revolusioner, melainkan mimpi buruk berwujud bug digital.
Hype Besar, Hasil Zonk
Sebelum rilis, Mind’s Eye dipromosikan sebagai game cinematic yang fokus ke narasi single-player dengan balutan teknologi masa depan. Banyak yang berharap, ini bakal jadi saingan GTA 6 yang sebentar lagi muncul. Tapi begitu rilis, harapan itu langsung terjun bebas. Player pertama yang nyoba langsung dibombardir crash, stuttering, FPS drop, dan glitch kocak yang bikin game ini viral bukan karena keren, tapi karena gagal total.
Di semua platform, termasuk PS5 Pro dan PC kelas dewa, game ini mentok di 30 FPS. Itu pun masih dibarengi frame pacing buruk dan input delay yang ganggu banget. Padahal sudah pakai Unreal Engine 5 yang harusnya jadi andalan visual, tapi performanya malah berat tanpa hasil yang sebanding. Di PC, bahkan dengan setup mahal pun, masih banyak yang ngeluh nggak bisa dapet 60 FPS di resolusi rendah.
Bug Level Dewa dan Visual yang Bikin Ngakak
Kalau kamu suka nonton konten meme gaming, Mind’s Eye ini surganya konten kreator. Banyak banget bug lucu tapi ngeselin. Karakter utama bisa tiba-tiba berubah jadi makhluk wajah meleleh ala Silent Hill. Physics ragdoll-nya super random, kadang karakter terpental kayak dilempar dewa. Bahkan hal sederhana kayak nabrak hidran bisa bikin mobil keangkat ke langit kayak disummon alien.
Efek ledakan kadang nggak muncul, atau malah delay sampai lima detik. Dan ini bukan masalah kecil—di game aksi, ledakan itu bagian dari kepuasan visual. Jadi saat efeknya telat atau malah nggak keluar sama sekali, pengalaman mainnya jadi makin hambar. Yang bikin tambah kacau, AI NPC-nya pun bikin malu. Banyak yang stuck di pintu, nyangkut di dinding, atau bahkan diem aja pas kamu nembak mereka. Belum lagi ketidakhadiran polisi, bikin dunia dalam game ini terasa kosong dan nggak ada konsekuensi sama sekali.
Cerita dan Desain Misi yang Berantakan
Mind’s Eye mencoba tampil serius dan sinematik, tapi malah terkesan seperti kumpulan ide yang dilempar asal ke dalam satu produk. Ceritanya terasa datar, karakternya nggak dapet pengembangan yang layak, dan cutscene-nya lebih banyak bikin bosan daripada penasaran.
Misi-misinya pun kurang variasi. Sebagian besar hanya menyuruhmu jalan dari titik A ke titik B, lalu tiba-tiba ada cutscene yang muncul tanpa konteks jelas. Kadang misi bisa gagal hanya karena satu NPC ngambek dan nggak jalan. Yang lebih nyebelin, sistem checkpoint-nya juga nggak membantu. Jadi kalau gagal, siap-siap ngulang dari awal banget, dan itu bisa nguras kesabaran.
Harga Mahal, Review Anjlok
Harga juga jadi isu besar. Game ini dibanderol $60 untuk versi standar dan $80 untuk versi deluxe. Dengan kualitas yang bahkan belum masuk standar game AA, apalagi AAA, banyak yang merasa seperti ditipu. Di Steam, review-nya kelihatan “mixed”, tapi kenyataannya mayoritas isi review-nya adalah kekecewaan. Hanya sekitar 40% ulasan yang bernada positif, sisanya banyak yang marah-marah sambil spam tombol refund.
Jumlah pemain aktifnya pun mengecewakan. Di hari pertama rilis saja, hanya tembus sekitar 3.300 pemain. Angka yang sangat rendah untuk game seambisius ini. Dan kalau melihat tren menurunnya, kemungkinan besar game ini akan cepat ditinggal komunitas.
Drama Developer: Salahkan “Haters Bayaran”?
Yang bikin makin absurd adalah sikap developernya sendiri. Salah satu co-CEO-nya, Mark Ghard, sempat bikin pernyataan kalau dia yakin 100% semua kritik negatif berasal dari haters bayaran. Bahkan dia sempat menuduh Rockstar mungkin punya andil menjatuhkan game ini. Teori konspirasi macam ini justru makin bikin developer kehilangan simpati.
Alih-alih minta maaf atau janji perbaikan, mereka malah nyalahin orang lain. Padahal udah jelas banget game-nya belum siap dirilis. Dan sampai sekarang, belum ada roadmap yang meyakinkan buat nge-fix semua masalah besar yang ada.
![]() |
Sumber: i dont even care at this point, this article is suck like the game does |
Spesifikasi Gila, Gamer Andalkan Refund
Satu lagi yang bikin pemain geleng-geleng adalah spesifikasi minimumnya yang bisa dibilang gila. Game ini merekomendasikan RTX 4070 hanya untuk mendapatkan pengalaman “layak main”. SSD 70GB jadi wajib, dan RAM minimal 16GB. Banyak pengguna RTX 3080 pun ngeluh nggak bisa dapet 60 FPS bahkan di setting low. Dengan spek segitu beratnya, gamenya sendiri malah nggak kasih pengalaman sepadan.
Karena itulah banyak pemain yang langsung mengandalkan kebijakan refund Steam. Baru main 20–30 menit, udah cukup untuk tahu kalau ini bukan game yang layak dibeli sekarang. Banyak yang langsung menyarankan sesama gamer buat tahan diri dulu sampai developernya bener-bener rilis patch perbaikan.
Mind’s Eye, Game Gagal atau Cuma Belum Siap?
Mind’s Eye sebenarnya punya potensi. Konsep futuristik, teknologi Unreal Engine 5, dan nama besar Leslie Benzies di baliknya seharusnya bisa jadi formula sukses. Tapi masalahnya, game ini jelas rilis terlalu cepat dan belum siap. Akibatnya, bukan cuma gagal memenuhi ekspektasi, tapi juga kehilangan kepercayaan pemain.
Kalau nggak ada perbaikan besar dalam waktu dekat, Mind’s Eye mungkin akan berakhir sebagai pelajaran mahal dalam sejarah industri game. Dari yang awalnya penuh hype, sekarang malah jadi bahan tertawaan. Dan untuk sekarang, nonton kompilasi bug-nya di YouTube mungkin jauh lebih seru daripada buang duit buat beli gamenya.