Game Dulu Bebas dan Brutal, Sekarang Terlalu Takut Salah

Coba kamu ingat lagi, pertama kali jatuh cinta sama video game, apa yang bikin tertarik? Buat sebagian orang, mungkin karena ceritanya keren. Buat yang lain, karena gameplay-nya brutal, liar, bahkan absurd. Tapi satu benang merahnya: kebebasan. Game membuat kita bisa menjadi siapa pun, melakukan hal-hal yang di dunia nyata nggak mungkin, atau justru dilarang keras.

Sayangnya, semakin ke sini, dunia game berubah. Game jadi lebih... rapi. Jinak. Hati-hati. Banyak studio besar mulai bermain aman. Mereka takut salah langkah, takut salah ucap, takut dituduh menyebarkan "pesan yang salah". Dan ketika rasa takut ini mulai mengambil alih industri game, di situlah kebebasan mulai mati pelan-pelan.


Politik dan Sensitivitas: Dua Pedang Bermata Dua

Dulu, game tidak perlu menjelaskan kenapa ada tokoh jahat. Tidak perlu meminta maaf karena menyisipkan kekerasan. Tidak harus membenarkan kalau ada tokoh yang problematik. Sekarang? Semua harus dijustifikasi. Semua harus bisa dipertanggungjawabkan secara moral. Ada karakter jahat? Harus ada alasan tragis di baliknya. Ada kekerasan? Harus dibuat "tidak mengglorifikasi". Ada joke sarkas? Bisa-bisa dibatalkan kalau terlalu "menyinggung".

Industri game sekarang hidup dalam ketakutan akan cancel culture. Ini melahirkan gelombang political correctness yang akhirnya menekan kebebasan kreatif para developer. Bukan cuma soal karakter atau cerita, tapi juga tema, eksplorasi naratif, dan bahkan desain gameplay.

Kita lihat saja bagaimana game-game modern mulai terasa terlalu “aman”. Terlalu bersih. Terlalu "selamat datang semua orang", sampai kehilangan identitasnya.


Game Harusnya Jadi Dunia yang Tidak Terikat Aturan Sosial

Kekuatan utama video game bukan sekadar visual keren atau cerita dramatis. Justru kekuatan terbesarnya adalah ilusi kebebasan. Dunia game memungkinkan kita untuk bermain dengan batas moral, mencoba sisi gelap manusia tanpa benar-benar menyakiti siapa pun.

Kamu bisa jadi pembunuh bayaran di Hitman, melakukan kekacauan total di GTA, jadi kekuatan jahat di Fable, atau bahkan menembus batas moral seperti di Spec Ops: The Line. Semua itu mungkin karena game bukan dunia nyata. Dan karena bukan nyata, harusnya tidak tunduk pada aturan sosial dunia nyata.

Masalahnya sekarang, terlalu banyak game yang malah menjual moralitas sebagai fitur. Seolah-olah player harus selalu membuat keputusan baik, atau karakter harus selalu punya latar belakang yang bisa dimaklumi. Nggak semua karakter harus jadi role model. Kadang, kita hanya ingin memainkan karakter jahat just for fun — dan itu sah.


Kreativitas Dibunuh Demi Reputasi

Mari kita realistis: banyak studio besar sekarang takut reputasinya hancur. Jadi mereka main aman. Mereka ikut arus. Mereka bikin karakter yang “beragam” bukan karena kebutuhan cerita, tapi karena takut tidak dianggap inklusif. Mereka buang adegan-adegan kontroversial karena takut backlash. Mereka bahkan sensor diri sendiri sebelum diminta.

Kamu bisa lihat ini jelas di reboot Saints Row. Dulu game ini dikenal gila, penuh kekacauan dan tidak peduli norma. Sekarang? Coba mainkan. Reboot-nya terasa seperti karikatur dari versi yang dulu — terlalu berhati-hati, terlalu ramah, terlalu takut menyinggung. Dan hasilnya? Gagal total. Kritik pun datang dari semua arah — bukan karena game-nya jahat, tapi karena game-nya membosankan.


Game Dulu Punya Karakter Tak Terlupakan Karena Berani Jadi Salah

Bayangkan Kratos di awal seri God of War — bukan ayah bijak seperti di Ragnarok, tapi sosok brutal yang membantai dewa-dewi karena dendam. Bayangkan Trevor dari GTA V — psikopat, vulgar, dan tidak bisa diprediksi. Bayangkan karakter-karakter dari Manhunt, Postal, atau Max Payne — semua penuh dengan kekacauan emosional dan moral yang abu-abu.

Karakter-karakter ini tidak dibuat untuk disukai semua orang. Tapi mereka ikonik. Karena mereka tidak terikat oleh panduan moral modern. Mereka adalah simbol bahwa video game berani menyentuh sisi gelap manusia, sesuatu yang media lain kadang takut lakukan.


Apakah Semua Harus Punya Pesan Moral?

Kadang kita hanya ingin main game. Bukan untuk belajar jadi orang baik. Bukan untuk menyerap pesan sosial. Tapi untuk kabur dari kenyataan. Game yang terlalu sibuk mendidik kadang lupa bahwa tujuan utama game adalah: menyenangkan.

Kita butuh game yang berani konyol, brutal, gila, bahkan tidak masuk akal — karena itu yang membuatnya beda dari dunia nyata. Kalau semua game jadi alat penyuluhan moral, kita akan kehilangan sesuatu yang berharga: ruang untuk jadi manusia tanpa batas.

Sumber: GamePro

Saatnya Dunia Game Kembali Jadi Liar

Game bukan media yang harus selalu aman. Game bukan untuk menyenangkan semua orang. Game adalah tempat kamu bisa menjadi raja kejam, pembunuh berdarah dingin, alien jahat, atau bahkan makhluk konyol yang menghancurkan dunia pakai kentut. Dan tidak ada yang boleh menyalahkanmu atas itu. Karena itu cuma... game.

Kita butuh lebih banyak game yang tidak takut salah. Tidak takut dibenci. Tidak takut dianggap kontroversial. Karena justru dari situlah kreativitas sejati lahir.


Penutup: Jangan Jinakkan Dunia yang Harusnya Liar

Game adalah satu dari sedikit media yang masih memungkinkan eksplorasi liar tanpa batas. Tapi kalau kita terus membebani game dengan moralitas, politik, dan sensitivitas berlebihan, maka dunia yang tadinya bebas ini akan jadi seperti dunia nyata: penuh aturan, penuh sensor, penuh ketakutan.

Kalau kita terus menuntut game untuk menjadi "baik", kita akan membunuh apa yang membuatnya menarik dari awal.

Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama