Pengalaman Dihina di Lobby CoD dan Halo: Nostalgia Gamer 2000an


Ada masa dalam sejarah video game di mana lobby multiplayer bukan sekadar ruang tunggu sebelum perang dimulai. Bukan tempat adem buat atur loadout atau ngobrol santai dengan teman satu tim. Justru sebaliknya — itu tempat paling liar, paling brutal, dan paling "jujur" dalam sejarah game online. Kalau kamu pernah hidup di era Xbox 360 atau PlayStation 3, terutama di game seperti Halo 3 atau Call of Duty: Modern Warfare 2, kamu tahu betapa rusaknya tempat itu. Lobby chat dulu bukan tempat berbagi taktik, tapi medan pertempuran lain, di mana senjatanya adalah mic, dan pelurunya adalah kata-kata tajam, hinaan random, dan suara bocah 12 tahun yang haus kemenangan.

Lobby itu seperti bar karaoke jam 3 pagi tapi dipenuhi orang yang belum pernah kenalan dengan etika dasar komunikasi. Tapi justru di situlah daya tariknya. Kamu nggak cuma bersiap buat melawan musuh dalam game, kamu juga harus siap mental menghadapi "serangan mental" dari orang yang bahkan belum pernah kamu temui dalam hidup. Nggak jarang, musuhmu yang paling berbahaya bukan yang pakai sniper di map Terminal, tapi yang duduk di lobby, menghina ibu kamu dengan detail yang bikin kamu bertanya-tanya: ini orang stalker atau dukun?


Trash Talk adalah Mata Uang Lobby

Budaya trash talk di era itu bukan sekadar tambahan. Ia adalah inti dari pengalaman multiplayer. Belum main aja, atmosfer sudah panas. Dari mulai tuduhan kamu noob, dihina karena pakai senjata favorit mereka, sampai teriakan menggelegar "1v1 me bro!" yang diucapkan dengan kemarahan tulus. Trash talk ini bukan sekadar cari ribut. Bagi sebagian orang, itu semacam ritual — cara menunjukkan eksistensi. Seperti kucing yang suka pipis buat menandai wilayah, gamer waktu itu menandai dominasi dengan mulutnya.

Kadang trash talk dilakukan sambil serius. Kadang sambil nyanyi. Kadang diselingi suara ibu mereka di latar belakang, nyuruh mereka tidur karena besok sekolah. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang konsisten: tidak ada batas. Tidak ada filter. Tidak ada sensor. Apa pun bisa keluar dari mulut orang-orang itu, dari penghinaan paling absurd sampai lawakan paling kering yang tetap terasa lucu karena delivery-nya sebrutal granat C4.


Pengalaman Pribadi: Dihina Sampai Lupa Login

Jujur aja, aku pernah jadi korban tetap di lobby Call of Duty. Waktu itu, baru aja dapet Xbox 360 second, excited banget, mikir ini awal karir esports aku. Masuk ke lobby pertama, suara langsung nyamber dari headset:

"WHO GAVE THIS GUY A CONTROLLER?!"
"YOUR KD LOOKS LIKE A DECIMAL ERROR!"
"DOES YOUR MOM KNOW YOU'RE EMBARRASSING THE FAMILY NAME?!"

aku belum ngomong sepatah kata pun. Baru duduk, tangan masih pegang snack, jari belum nempel trigger, sudah diserang secara verbal seperti aku ngutang pulsa ke semua orang di lobby.

Paling parah? Ada satu bocah, suaranya masih nyaring kayak lonceng masjid subuh, teriak:

"EVEN MY GRANDMA COULD HEADSHOT YOU AND SHE’S DEAD!"

aku nggak tahu antara pengen ketawa atau introspeksi hidup. Yang jelas, aku mute headset, naruh controller, dan nanya ke diri sendiri: “Mungkin ini saatnya aku main The Sims aja, ya?”

Sumber: YouTube

Voice Chat Terbuka: Anarki Digital

Game seperti Halo dan Call of Duty dulu punya fitur yang sekarang mungkin dianggap bunuh diri: voice chat terbuka otomatis. Begitu kamu masuk lobby, kamu langsung terhubung ke mic semua orang di dalamnya. Tanpa persetujuan. Tanpa mute otomatis. Tidak ada pengingat sopan santun. Bahkan seringkali, orang yang baru gabung langsung diteriaki, seolah-olah dia sudah bersalah dari awal.

Kamu masuk game, headset nyala, dan suara pertama yang kamu dengar bukan musik, tapi ocehan penuh dendam dari seseorang yang mungkin tinggal tiga benua jauhnya. Kadang kamu tidak tahu apa yang dia katakan — bisa karena aksennya, bisa juga karena kata-kata yang digunakan adalah semacam bahasa alien yang hanya dimengerti oleh komunitas toxic tertentu.

Tapi itulah seninya. Kamu tidak perlu mengerti sepenuhnya untuk tahu bahwa kamu sedang dibenci secara intens.


Minimnya Moderasi, Maksimalnya Kekacauan

Tidak seperti zaman sekarang yang dipenuhi fitur moderasi otomatis, AI yang menyensor kata kasar, dan sistem report yang langsung bikin pelaku kena timeout, lobby dulu benar-benar seperti tanah tak bertuan. Kamu bisa teriak apa saja, dan kecil kemungkinan akan ada konsekuensinya. Bahkan, semakin kamu kasar, semakin kamu terkenal. Kadang ada pemain yang secara rutin masuk lobby hanya untuk menciptakan kekacauan, seperti radio rusak yang muter lagu metal, lalu menyisipkan hinaan personal tiap jeda chorus.

Beberapa orang bahkan dikenal bukan karena jago main, tapi karena trash talk-nya legendaris. Nama mereka mungkin nggak pernah masuk leaderboard, tapi semua orang ingat suara mereka. Ada yang teriak "noob" setiap dua detik. Ada yang nyamar jadi announcer. Ada juga yang mengumpat dalam berbagai bahasa, seperti sedang menjalankan misi diplomatik antarnegara.


Dihujat, Tapi Dirindukan

Aneh memang, tapi semua kekacauan itu justru melahirkan kenangan yang membekas. Bukan karena kita menikmati jadi korban toxic, tapi karena semua terasa sangat hidup. Lobby itu seperti pesta besar tanpa pengawasan orang tua. Kamu tahu itu kacau, tapi kamu juga tahu kamu nggak akan lupa rasanya.

Dan kadang, di balik semua keributan, ada tawa yang jujur. Ada teman baru yang awalnya musuh di lobby tapi kemudian jadi tandem tetap di setiap match. Ada momen di mana semua pemain dalam satu lobby tertawa karena salah satu dari mereka tiba-tiba nyanyi dangdut atau bersin sambil maki-maki.

Lobby itu bukan tempat aman. Tapi justru karena itu, ia jadi tempat yang... nyata. Organik. Tidak dibuat-buat. Dan, seperti banyak hal gila di internet era 2000-an, semuanya terasa seperti kenangan masa kecil — sedikit traumatis, tapi penuh warna.


Lobby Hari Ini: Lebih Bersih, Tapi Kurang Greget

Sekarang, kita hidup di era yang lebih sopan. Chat otomatis difilter. Pemain toxic bisa langsung di-report dan dibungkam. Suara bocah bisa langsung di-mute. Semua terasa... aman. Tapi juga, kadang, membosankan. Tidak ada lagi sense of danger waktu masuk lobby. Tidak ada lagi kejutan absurd dari mic orang asing.

Kenyamanan ini tentu penting — terutama buat kesehatan mental dan keamanan digital. Tapi bagi kami yang pernah hidup dan bertahan di zaman gelap itu, kadang ada kerinduan kecil. Kerinduan akan kekacauan yang terkontrol. Akan suara cempreng yang meneriakkan "quickscope!" sebelum match dimulai. Akan obrolan bodoh yang tidak sopan tapi tidak bisa dilupakan.


Penutup: Dari Neraka, dengan Cinta

Dulu, masuk lobby berarti siap untuk dihina, dimaki, bahkan dihancurkan secara emosional. Tapi itu juga berarti kamu bagian dari sesuatu yang besar. Suatu momen dalam sejarah game online yang tak akan terulang — terlalu liar untuk zaman sekarang, terlalu bebas untuk dunia yang mulai teratur.

Kami yang pernah hidup di sana, yang pernah bertahan dari serangan verbal bocah 13 tahun yang main sambil makan sereal, akan selalu mengingat era itu dengan rasa bangga. Dan sedikit trauma. Tapi juga dengan tawa.

Karena meski lobby itu neraka, kami semua... lahir dari sana.

Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama