Kalau Beli Game Gak Bikin Kamu Punya, Apa Bajak Game Itu Mencuri?


Kita hidup di era aneh: di mana kamu bisa membayar ratusan ribu, bahkan jutaan rupiah untuk sebuah game, tapi di mata hukum kamu tidak memiliki apa-apa. Kamu tidak bisa mewariskannya, tidak bisa menjualnya kembali, dan bahkan bisa kehilangan aksesnya kapan saja. Ini bukan teori konspirasi. Ini realita ekonomi digital saat ini.

Ketika kita membeli game digital, kita tidak membeli sebuah barang, melainkan menyewa izin yang rapuh dan penuh syarat. Di balik semua visual HD, server global, dan skin eksklusif, dunia game hari ini dibangun di atas ilusi kepemilikan.


Dari Cartridge ke Cloud: Evolusi atau Pengkhianatan?

Dulu, game hadir dalam bentuk fisik—disket, kaset, cartridge, CD. Kita bisa menyentuh, menyimpan, dan mewariskannya. Ketika Super Mario dimiliki oleh anak-anak generasi 90-an, game itu adalah bagian dari rumah. Bahkan saat konsolnya rusak, kasetnya masih bisa dijadikan memorabilia.

Kini, game tidak lagi tinggal di rumah. Mereka tinggal di server orang lain. Server yang bisa ditutup. Platform yang bisa memblokirmu. Lisensi yang bisa hangus.

Kita menyebut ini “kemajuan.” Tapi apakah kemajuan selalu berarti kehilangan kontrol?


Digital Ownership: Sebuah Kontradiksi?

Istilah “digital ownership” sejatinya adalah oksimoron—dua kata yang bertentangan. Kita merasa memiliki karena telah membayar. Namun pada kenyataannya, kita hanya diberi akses bersyarat.

Contohnya, ketika kamu beli game di Steam, kamu menyetujui End User License Agreement (EULA) yang menyatakan bahwa kamu hanya memiliki hak untuk menggunakan software tersebut, bukan software-nya itu sendiri. Itu seperti membeli rumah, tapi cuma dapat izin tinggal selama pemilik aslinya belum berubah pikiran.

Parahnya lagi, sebagian besar gamer tidak membaca EULA tersebut. Kita klik “I Agree” karena ingin segera bermain. Dan karena itu, kita jadi bagian dari sistem yang secara sadar menghilangkan hak milik.


Apakah Konsumen Sudah Dicuci Otak?

Ada pertanyaan yang patut kita renungkan: mengapa banyak gamer rela menerima kondisi ini? Jawabannya bisa jadi sederhana: kita sudah terbiasa. Kita dibesarkan dengan sistem yang terus mengaburkan makna kepemilikan. Kita diajari untuk menyamakan “akses” dengan “memiliki”—padahal keduanya berbeda secara fundamental.

Dan saat ada yang mengeluhkan ini, jawabannya sering kali sinis: “Ya namanya juga digital.” Seolah-olah digitalisasi adalah alasan sah untuk menghapus hak konsumen.

Inilah saatnya kita bertanya: jika semuanya serba digital, lalu di mana tempat kita sebagai pemilik sah?


Kalau Membeli Bukan Memiliki, Apa Nge-Bajak Itu Mencuri?

Pertanyaan ini tidak muncul dari ruang hampa. Ia muncul karena logika sistem itu sendiri. Jika kamu membeli game, tapi aksesnya dibatasi, diubah, bahkan dihapus tanpa kompensasi, maka ketika seseorang membajak game itu untuk dimainkan secara pribadi, apa benar itu setara dengan mencuri?

Mari berhenti sejenak. Kami tidak sedang membenarkan pembajakan. Tapi penting untuk melihat bahwa etika digital tidak bisa disamakan dengan etika dunia fisik. Dalam dunia fisik, mencuri berarti mengambil sesuatu yang orang lain miliki, sehingga mereka kehilangan hak atasnya. Tapi dalam dunia digital, file bisa disalin tanpa mengurangi apa pun dari pemilik aslinya.

Argumen hukum akan selalu mengatakan bahwa pembajakan adalah pelanggaran. Tapi argumen moral? Tidak sesederhana itu. Karena ketika kamu “membeli” game tapi tidak bisa mengontrolnya, kamu bukan lagi pemilik—kamu hanya pelanggan yang diborgol sistem.

Sumber: Reddit

Ekonomi Akses: Surga bagi Korporasi, Neraka bagi Konsumen

Model ekonomi yang digunakan industri game saat ini disebut Economy of Access. Tujuannya sederhana: alih-alih menjual produk sekali, perusahaan bisa mendapatkan pemasukan berkala dari lisensi, langganan, mikrotransaksi, dan konten musiman.

Ini membuat publisher bisa menjual ulang game yang sama berkali-kali—dalam bentuk skin, battle pass, versi remaster, hingga NFT. Tapi bagi kita, konsumen, ini menciptakan hubungan yang timpang. Kita membayar lebih banyak, tapi memiliki lebih sedikit.


AI, Streaming, dan Masa Depan Tanpa Kepemilikan

Dengan berkembangnya cloud gaming dan AI-generated content, kepemilikan personal akan makin dikikis. Di masa depan, kamu mungkin tak lagi “memiliki” game, tapi hanya bisa memainkannya lewat stream dari server korporasi.

Ini bukan distopia—ini sudah mulai terjadi. Google Stadia mati, dan semua pembelinya kehilangan akses. Game-game lama ditarik dari store karena lisensi musik. Bahkan patch dan update bisa menghapus fitur yang dulu kamu sukai. Tidak ada kontrol. Tidak ada jaminan. Tidak ada rasa aman sebagai konsumen.

Kesimpulan: Hak Digital Adalah Hak Manusia

Jika industri game terus berjalan di jalur ini, maka perlu ada perlawanan. Entah dalam bentuk boikot, kebijakan, atau edukasi massal. Karena kalau kita diam saja, maka kepemilikan akan menjadi kata yang kosong dalam kamus digital.

Di blog Lorenime, kami percaya bahwa kepemilikan digital adalah bagian dari hak manusia. Dan jika membeli bukan lagi berarti memiliki, maka yang mencuri mungkin bukan kita—tapi sistem yang mengatur kita.



Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama