Kalau kamu udah lama ngikutin dunia game, nama Ubisoft pasti pernah bikin kamu excited. Gimana enggak, mereka dulu sempat berjaya lewat seri-seri legendaris kayak Assassin's Creed II, Far Cry 3, Splinter Cell, sampai Prince of Persia. Tapi itu dulu. Sekarang? Nama Ubisoft malah lebih sering muncul sebagai bahan olokan di forum gamer atau meme kecewa massal di Reddit.
Ubisoft sekarang udah bukan lagi studio visioner, tapi lebih mirip pabrik game copy-paste dengan mentalitas "asal rilis". Yang penting keluarin game baru tiap tahun, meskipun setengah jadi. Dan gamer? Ya, jadi tester gak dibayar. Game yang harusnya menyenangkan, malah jadi sumber frustrasi.
Game Setengah Jadi: Standar Baru dari Ubisoft?
Masalah terbesar yang bikin nama Ubisoft makin tenggelam adalah kebiasaan mereka ngerilis game dalam keadaan belum siap. Bug, glitch, framerate ambruk — itu udah kayak fitur wajib.
Coba inget Assassin’s Creed: Unity. Waktu itu, wajah karakter bisa hilang, mata dan gigi nongol sendirian, dan NPC bisa teleport dari langit. Bukannya imersif, yang ada malah lucu menyeramkan.
Setelah itu, mereka terus ngulang siklus yang sama. Game baru dirilis, gamer marah karena banyak masalah teknis, Ubisoft minta maaf, keluarin patch 20GB, lalu lanjut ke game setengah jadi berikutnya. Begitu terus. Kayak gak belajar dari kesalahan.
Formula Copy-Paste: Game Berasa Pabrik, Bukan Passion
Kualitas game juga makin menurun. Hampir semua game Ubisoft terasa sama: open world gede, map penuh icon, harus manjat sesuatu buat buka area baru, dan misi-misi repetitif.
Mereka kayak gak punya ide baru selain nge-reskin formula lama. Far Cry makin membosankan, Watch Dogs: Legion gimmick-nya keren di konsep tapi kosong isinya, dan Assassin’s Creed berubah jadi RPG besar yang kehilangan identitas stealth yang dulu bikin dia unik.
Agenda Woke yang Dipaksakan: Representasi atau Gimmick?
Yang bikin makin banyak gamer kesel adalah kecenderungan Ubisoft menyisipkan agenda “woke” secara maksa. Bukan salah kalau game mau angkat isu sosial atau representasi, tapi cara penyampaiannya seringkali terasa dipaksa dan tidak nyambung dengan dunia game-nya sendiri.
Jadi bukan soal keberagaman, tapi soal eksekusinya yang buruk. Dialog terdengar kayak ceramah Twitter, dan karakter kadang terasa seperti template klise, bukan individu yang hidup di dalam cerita.
![]() |
Sumber: YouTube |
Assassin’s Creed Shadows: Puncak Kekecewaan Gamer
Dan sekarang, puncaknya... Assassin’s Creed Shadows.
Game ini jadi simbol bagaimana Ubisoft benar-benar kehilangan arah. Fans lama udah excited karena akhirnya ada seri AC yang bersetting Jepang. Setelah bertahun-tahun diminta, akhirnya dikabulkan juga. Tapi ternyata harapan itu dibayar mahal dengan kekecewaan.
Saat gameplay dan trailernya keluar, yang terlihat adalah sebuah game yang bukan hanya penuh bug dan glitch, tapi juga dijejali dengan narasi sosial yang dipaksakan. Karakter dibuat lebih demi agenda daripada logika dunia game-nya. Setting Jepang feodal jadi seperti panggung modern yang tersamar, bukan sejarah yang hidup. Belum lagi masalah teknis yang bahkan muncul di trailer promosi mereka sendiri. Bener-bener bikin geleng kepala.
Microtransaction di Game Single Player? Serius, Ubisoft?
Yang bikin frustrasi, di tengah semua ini, Ubisoft juga tetap hobi nyelipin microtransaction, bahkan di game single player.
Kayak di Assassin’s Creed Odyssey dan Valhalla, mereka kasih XP booster, skill point, dan gear keren — tapi semua bisa kamu beli pakai duit asli. Dan jangan lupa, sistem progression-nya sengaja dibikin lambat biar kamu tergoda buat beli booster.
Jadi bukan cuma ngerusak immersion, tapi juga ngerusak integritas game itu sendiri.
Ubisoft Gagal Dengerin Komunitas
Parahnya lagi, semua feedback dari komunitas kayak dianggap angin lalu. Gamer minta sistem stealth klasik balik? Ubisoft kasih RPG open world lebih besar lagi. Gamer protes soal bug? Patch dikasih berbulan-bulan kemudian. Gamer pengen game yang orisinal dan berani? Ubisoft kasih sequel atau spin-off dari IP lama, atau multiplayer live-service yang gak diminta siapa-siapa.
Ubisoft sekarang bukan lagi studio kreatif yang ingin bercerita lewat game. Mereka udah berubah jadi mesin bisnis yang peduli sama satu hal: cuan. Sayangnya, cuan itu datang dari pemain yang udah muak tapi masih berharap.
Harapan yang Terkikis: Masih Bisa Diselamatkan?
Harapannya? Semoga game berikutnya bisa menebus kesalahan. Tapi berkali-kali dibuktikan: harapan itu cuma buang waktu.
Industri game lagi berkembang pesat. Studio kecil mulai naik, game indie bisa punya kualitas dan cerita yang jauh lebih jujur dan berani. Sementara itu, Ubisoft malah jalan di tempat, bahkan kadang mundur. Mereka perlu revolusi, bukan cuma evolusi kecil. Tapi kalau mereka tetap keras kepala, gamer akan pindah ke tempat lain — ke developer yang lebih peduli, lebih tulus, dan gak cuma ngincer dompet.
Gimana menurutmu?
Apa kamu juga kecewa sama Assassin’s Creed Shadows? Atau masih ada harapan di mata kamu buat Ubisoft? Tulis pendapatmu di kolom komentar ya — diskusi seru selalu ditunggu di lorenime.