Jujur aja, makin ke sini aku makin sering ngerasa kayak diboongin sama trailer. Kamu pasti pernah nungguin game baru yang katanya next-gen, teknologi mutakhir, ray tracing, dan segala macam jargon keren. Tapi pas lihat karakter utamanya… kok malah bikin ilfeel? Bukan karena teknisnya buruk, tapi karena desain wajah, tubuh, atau gaya karakternya terasa sengaja dibuat nggak menarik, atau bahkan jelek.
Inilah yang sekarang banyak orang sebut sebagai uglifikasi. Istilah ini nggak resmi, tapi sudah cukup sering dipakai di komunitas gamer online buat menyindir fenomena aneh ini. Intinya, uglifikasi adalah ketika pengembang game sengaja bikin desain karakter—terutama karakter utama—terlihat tidak estetik, tidak memesona, bahkan kadang terkesan dibuat aneh atau kusam tanpa alasan artistik yang jelas. Dan ya, aku pribadi cukup terganggu dengan tren ini.
Dulu Game Itu Fantasi, Sekarang Malah Suram
Game, buat banyak dari kita, adalah pelarian. Tempat di mana kamu bisa jadi siapa pun. Mau jadi wanita petarung cantik, pria kuat dengan rahang tegas, atau makhluk aneh berarmor neon, semua bisa. Dunia game itu luas, bebas, dan... indah.
Tapi sekarang, rasanya industri pengembang besar justru ingin menarik kita kembali ke dunia nyata. Karakter cewek yang dulu tampil fierce dan memesona, sekarang dibuat lebih "biasa", lebih realistis, atau bahkan lebih maskulin. Karakter cowok yang dulunya tampil gagah atau karismatik, sekarang malah punya desain muka yang suram, tirus, atau kayak belum tidur tiga hari. Dan anehnya, ini dianggap sebagai kemajuan. Padahal buatku, ini justru kemunduran. Ketika teknologi grafis semakin canggih, kenapa desain visual karakter malah makin disunat secara estetika?
Alasannya Selalu Sama: Realisme, Representasi, dan Sensitivitas
Kalau kamu tanya ke developer, alasan mereka rata-rata bakal mirip. Mereka bilang pengen bikin karakter yang lebih manusiawi, lebih beragam, dan nggak lagi menuruti standar kecantikan zaman dulu. Mereka ingin menghadirkan dunia yang lebih inklusif, di mana semua orang bisa melihat diri mereka dalam karakter game. Kedengarannya memang mulia. Tapi realitanya? Banyak desain yang terasa seperti dikorbankan. Estetika dibuang, karisma dikesampingkan, dan fantasi dihancurkan, semua demi tujuan yang katanya “lebih realistis” atau “lebih inklusif”.
Masalahnya, game bukan dokumenter. Game bukan foto KTP. Kita main game bukan buat melihat tetangga sebelah yang ke pasar, tapi buat tenggelam dalam dunia yang lebih indah, lebih keren, lebih liar dari hidup kita sendiri. Dan parahnya lagi, argumen “representasi” sering dipakai untuk menolak kritik. Kalau kamu bilang desain karakternya buruk, kamu akan dicap tidak toleran. Padahal, mengkritik desain bukan berarti membenci keberagaman. Aku cuma pengin karakter game tampil keren lagi. Apakah itu dosa?
Kenapa Gamer Mulai Muak?
Banyak gamer sekarang merasa bahwa estetika visual bukan lagi prioritas di mata developer besar. Bukan cuma karakternya yang kehilangan daya tarik, tapi juga keseluruhan gaya visual game makin terasa monoton dan kaku. Dunia game yang dulu penuh warna dan gaya, sekarang terasa dibanjiri filter kelabu dan desain yang hambar.
Lebih parahnya lagi, tren ini bukan cuma terjadi di satu atau dua game. Banyak seri besar mengalami “transformasi” desain yang bikin fans lama kecewa. Karakter-karakter yang dulunya punya pesona kuat, kini tampil seperti NPC acak di game survival indie. Dan buat gamer seperti aku, yang tumbuh bareng karakter ikonik penuh karisma, ini bukan kemajuan—tapi penghilangan identitas.
Apakah Fantasi dan Estetika Harus Dikorbankan?
Yang bikin frustasi, semua ini seakan datang dari anggapan bahwa visual yang menarik itu salah. Bahwa karakter yang tampil memesona otomatis dianggap “objektifikasi”, dan harus digantikan dengan desain yang lebih “realistis”.
Aku nggak bilang semua karakter harus tampil seksi atau ganteng maksimal. Tapi setidaknya kasih kami sesuatu yang punya daya tarik, punya keunikan visual, punya aura. Dunia game itu tempat untuk mengeksplorasi kemungkinan tak terbatas—kenapa malah kita dibatasi oleh pandangan dunia nyata yang sempit?
Fantasi dan estetika itu bukan dosa. Justru itu alasan utama kenapa banyak dari kita jatuh cinta dengan video game.
![]() |
Sumber: YouTube |
Uglifikasi Itu Bukan Evolusi, Tapi Eksperimen yang Gagal
Beberapa orang mungkin bilang ini hanyalah fase. Bahwa tren desain karakter yang "anti-mainstream" ini cuma eksperimen sementara. Tapi melihat bagaimana industri terus mendorong agenda visual seperti ini, rasanya lebih dari sekadar eksperimen. Ini seperti ideologi baru yang dibawa masuk secara diam-diam ke dunia yang seharusnya bebas dari itu semua.
Uglifikasi bukan solusi. Ini cuma cara malas untuk terlihat progresif tanpa benar-benar meningkatkan kualitas game itu sendiri. Kamu bisa bikin karakter beragam, kuat, dan kompleks tanpa harus bikin mereka terlihat seperti figur wax yang kehabisan energi.
Aku bisa kasih contoh, dan ini bukan satu dua. Misalnya, Aloy dari Horizon Forbidden West. Banyak pemain, termasuk aku, sempat bengong waktu lihat perbedaan wajahnya dari game pertama. Bukan karena kualitas grafisnya buruk, justru makin detail. Tapi detail itu justru jadi bumerang. Wajahnya terlihat lebih lebar, lebih keras, dan kehilangan aura karismatik yang dulu bikin dia ikonik di Zero Dawn. Rasanya kayak desain ulang itu dilakukan bukan demi karakter, tapi demi memenuhi checklist “realistis” dan “anti-beauty bias”.
Lalu ada Lara Croft versi Shadow of Tomb Rider. Bandingin mukanya sama Lara versi dua game sebelumnya kamu bakal lihat versi game terbaru ini beda banget.
Nggak cuma cewek. Cowok juga kena. Di Dragon Age: Dreadwolf, beberapa bocoran dan desain konsep awal sempat bikin banyak fans lama garuk-garuk kepala. Karakter-karakter prianya sekarang tampil dengan gaya yang lebih flamboyan atau terlalu biasa, kehilangan aura pahlawan atau antihero yang dulu jadi ciri khas seri ini. Karakter pria tangguh dan karismatik seperti Geralt dari The Witcher 3 sekarang malah terasa langka, kayak udah nggak “diizinkan” muncul lagi dalam dunia game modern.
Bahkan Mass Effect remaster sempat mengubah tampilan default FemShep. Versi barunya, meskipun lebih halus dan “alami”, menurutku kehilangan intensitas ekspresi dan daya tarik visual yang bikin karakter itu disukai dari awal. Bukannya lebih hidup, malah terasa datar dan kehilangan kekuatan visual.
Semua ini terasa seperti pola. Bukan kebetulan, tapi keputusan desain yang sengaja diambil, dan makin lama makin terasa lelah dibuat-buat.
Penutup: Saatnya Kembalikan Estetika ke Dunia Game
Sebagai gamer yang cinta dunia fantasi dan visual yang menggugah, aku nggak bisa diam melihat tren uglifikasi ini terus menyebar. Dunia game seharusnya jadi tempat di mana estetika dan fantasi berkembang bebas, bukan dikurung dalam kotak moral dan politik dunia nyata.
Desain karakter yang kuat dan memesona bukan musuh representasi. Kita bisa punya karakter hitam, Asia, tua, muda, berkacamata, atau bahkan non-biner—selama mereka tetap punya daya tarik visual, karisma, dan identitas yang kuat. Jangan jadikan keberagaman sebagai alasan buat menghapus estetika.
Game bukan realitas. Game itu pelarian, impian, dan harapan. Dan aku rasa, sudah waktunya industri ini ingat lagi kenapa dulu kita jatuh cinta pada pixel pertama.