Satu hal yang harus kamu tahu dari awal: Red Dead Redemption 2 (RDR2) bukan sekadar game, ini pengalaman hidup. Game ini ngebawa aku ke dunia lain—ke Amerika era 1899 yang penuh konflik, keindahan alam liar, dan dilema moral yang terasa lebih nyata daripada sebagian besar serial drama di TV.
Dari awal sampai akhir, RDR2 terasa seperti surat cinta dari Rockstar kepada dunia open world. Tapi juga kayak surat perpisahan. Karena setelah main ini, semua game open world lain langsung terasa... ya, kurang aja.
Gameplay: Simulasi Koboi dengan Cinta pada Detail
Rockstar benar-benar nggak main-main soal gameplay di RDR2. Semuanya serba immersive. Kamu bukan cuma nembak dan naik kuda doang. Kamu hidup di dunia itu. Dari mencukur jenggot, makan daging hasil buruan, sampai ngobrol sama NPC yang punya nama dan rutinitas—semuanya dirancang sedetail itu. Bahkan cara jalan karaktermu berubah tergantung beban yang dia bawa. Kuda kamu juga nggak sekadar kendaraan, tapi partner hidup yang bisa stres, takut, bahkan mati kalau kamu sembrono.
Combat-nya sendiri mungkin nggak se-fluid game modern kayak Last of Us 2, tapi masih seru dan punya gaya koboi yang khas. Apalagi kalau kamu aktifin dead eye—rasanya kayak jadi Clint Eastwood di film spaghetti western. Satu kekurangan? Kadang game ini terlalu realistis sampe bikin aktivitas sepele jadi lambat. Mau buka lemari aja bisa makan waktu 5 detik. Tapi kalau kamu tipe pemain yang suka masuk total ke dunia game, justru ini yang bikin RDR2 beda.
Karakter: Arthur Morgan, Si Koboi dengan Nurani
Buatku, Arthur Morgan adalah salah satu karakter video game terbaik yang pernah ada. Bukan karena dia kuat atau jago tembak, tapi karena dia manusia. Dia bisa kejam, bisa baik. Bisa taat sama Dutch, tapi juga mulai sadar kalau hidup mereka udah nggak idealis lagi. Perjalanan emosional Arthur—terutama setelah momen dia kena TBC—itu nyentuh banget. Perlahan kita lihat perubahan dia: dari preman loyal jadi seseorang yang pengen nebus dosa-dosanya. Endingnya pun... aduh, masih bikin sesek napas tiap kali aku ingat.
Selain Arthur, hampir semua karakter gang Van der Linde punya keunikan sendiri. Dutch yang makin gila, Micah yang nyebelin banget (tapi realistis), Sadie yang badass, dan tentu saja John Marston yang bikin penggemar RDR pertama teriak "YES!" Tapi ada satu hal yang janggal di epilog: model tubuh John masih pakai body Arthur. Kalau kamu cukup jeli, kamu bakal sadar postur John di RDR2 jauh lebih berisi dari John di RDR pertama. Ini bikin vibe-nya agak meleset sih, apalagi buat fans lama yang kenal John sebagai sosok lebih ramping dan ceking.
Dunia: Alam Liar yang Terasa Hidup
Dunia RDR2 itu indah, luas, dan yang paling penting: hidup. Mulai dari gunung bersalju di Ambarino, padang rumput luas di New Hanover, rawa-rawa menyeramkan di Lemoyne, sampai gurun tandus di New Austin—semua punya atmosfer sendiri. Kamu bisa nemuin hewan liar, pemancing di danau, orang minta tolong di pinggir jalan, atau malah jebakan perampok yang muncul acak. Dunia ini selalu ngasih alasan buat kamu eksplor, tanpa harus ngandelin waypoint atau panah besar di minimap.
Tapi ada satu kekurangan yang sampai sekarang bikin aku mikir: kenapa Armadillo dibuat jadi kota mati karena wabah kolera? Ini memang masuk akal secara naratif, dan bikin kesan "wild west" makin kuat. Tapi di sisi lain, kita jadi kehilangan satu kota penting yang dulu ikonik di RDR1. Beberapa pemain merasa ini keputusan berani, tapi aku pribadi sedikit kecewa—karena nostalgia yang rusak. Aku pengen lihat Armadillo yang hidup lagi.
![]() |
Sumber: Variety |
Musik dan Suara: Pas, Menyentuh, dan Tak Terlupakan
Soundtrack RDR2 tuh nggak terlalu banyak, tapi selalu muncul di momen yang tepat. Lagu "That's the Way It Is" di akhir cerita Arthur adalah contoh sempurna. Nggak cuma bikin bulu kuduk merinding, tapi juga memperkuat emosi yang udah dibangun dari awal game.
Selain itu, suara alam, derap kaki kuda, dan aksen tiap karakter—semuanya dirancang dengan perhatian yang luar biasa. Rasanya nggak ada satu elemen audio pun yang dibuat asal-asalan.
Kesimpulan: Sebuah Mahakarya yang Nyaris Sempurna
Kalau kamu tanya aku, Red Dead Redemption 2 adalah salah satu game terbaik sepanjang masa. Ini bukan game yang bisa kamu selesaikan sambil santai ngopi 15 menit. Ini game yang menuntut waktu, perhatian, dan emosi kamu. Tapi hasilnya sepadan.
Sayangnya, detail kecil seperti reuse model tubuh John dan Armadillo yang jadi kota zombie sedikit mengurangi rasa puas yang sempurna. Tapi cuma sedikit. Karena pada akhirnya, pengalaman yang aku dapet dari game ini jauh lebih besar dari kekurangan-kekurangannya. Kalau kamu belum main RDR2, kamu ketinggalan sesuatu yang besar. Dan kalau kamu udah main, kamu pasti tahu rasanya kayak ditinggal Arthur.