Saat Game Halo Melupakan Akar Kristennya dan Terlalu Fokus pada Agenda Sosial

Sudah bukan rahasia lagi kalau seri Halo adalah salah satu pilar utama dalam sejarah game FPS, khususnya di era keemasan konsol Xbox. Dari kisah epik Master Chief melawan Covenant hingga plot yang menyentuh sisi eksistensial AI seperti Cortana, dulu Halo adalah simbol dari storytelling fiksi ilmiah yang solid dan penuh ketegangan militer. Tapi sekarang? Banyak fans lama mulai merasa kalau Halo bukan lagi "Halo" yang dulu.

Sebagian menyalahkan arah gameplay yang berubah, sebagian lain kecewa karena narasi yang makin dangkal. Tapi satu hal yang makin sering jadi bahan diskusi panas adalah bagaimana franchise ini—khususnya sejak dipegang 343 Industries—mulai terdistraksi oleh agenda political correctness dan nilai-nilai woke yang dianggap memaksakan narasi sosial daripada memperkuat cerita fiksi ilmiah.

Nuansa Kristen yang Dihapus Diam-Diam

Buat kamu yang belum tahu: sejak awal, Halo itu penuh dengan simbolisme dan narasi yang terinspirasi dari ajaran Kristen. Nama “Halo” sendiri merujuk pada cincin surgawi—pengingat akan kekekalan dan kekuatan ilahi. Master Chief bernama asli John-117, dan angka 117 itu bukan sembarangan—itu merujuk pada Yohanes 1:17 dalam Alkitab:

"Sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus."

Cortana? Punya paralel dengan konsep "firman" atau pengetahuan ilahi. Forerunners, Prophets, dan Flood pun bisa dibaca sebagai alegori dari malaikat, nabi palsu, dan dosa asal. Bungie, sang developer orisinal, emang jago main di wilayah abu-abu antara fiksi ilmiah dan spiritual.

Tapi sejak 343 Industries ambil alih, semua simbolisme itu... perlahan menghilang. Bukan karena cerita gak bisa berkembang, tapi karena ada kecenderungan menjauh dari narasi spiritual dan menggantinya dengan identitas baru yang lebih "aman" secara politis dan sosial.

Ketika Inklusivitas Menyingkirkan Eksistensialisme

Gak salah kok pengen game jadi lebih inklusif. Tapi ketika nilai-nilai representasi dan political correctness dipaksakan sampai mengorbankan kedalaman narasi dan filosofi spiritual, jadinya malah bikin kehilangan arah.

Halo Infinite contohnya—narasi tentang iman, takdir, dan pengorbanan besar seperti di trilogi klasik Bungie? Hilang. Yang ada malah pengantar cerita yang terasa generik, datar, dan kehilangan roh.

Master Chief bukan lagi figur penyelamat dengan lapisan spiritual—ia berubah jadi tentara tanpa emosi yang sibuk mendengar perintah dari AI baru. Karakter-karakter lainnya pun seolah hanya hadir sebagai pelengkap kuota sosial, bukan sebagai simbol atau penggambaran moralitas manusia yang dulu jadi kunci dalam narasi Halo.

Meninggalkan Warisan, Mengejar Tren

Halo bukan sekadar game tembak-tembakan. Ia adalah kisah epik yang memadukan fiksi ilmiah, mitologi, dan spiritualitas dengan nuansa militer yang kental. Tapi kini, franchise ini malah sibuk ikut arus zaman. Muncul karakter-karakter baru yang dibuat hanya karena "butuh diversity", bukan karena ada kebutuhan naratif.

Simbol-simbol religius tak lagi mendapat tempat. Filosofi tentang keselamatan, pengorbanan, dan kebangkitan spiritual—yang dulu terasa dalam di setiap langkah Master Chief—lenyap begitu saja. Yang tersisa? Dialog penuh jargon progresif yang lebih cocok untuk talk show daripada ruang peperangan antar galaksi.

Sumber: thegamer.com

Fans Merasa Dikhianati

Fans lama—terutama yang tumbuh bersama trilogi asli Bungie—merasa ditinggalkan. Banyak dari mereka bukan cuma gamer, tapi juga orang-orang yang dulu merasa "tersentuh" oleh kedalaman cerita Halo. Saat simbol iman diganti dengan slogan sosial, yang tersisa hanyalah kulit kosong dari mahakarya yang dulu penuh jiwa.

Komentar seperti:
"Halo sekarang kayak produk PR, bukan karya seni."
atau
"Dulu aku merasa Master Chief punya misi ilahi. Sekarang dia kayak NPC di dunia yang terlalu politis."

... jadi semakin sering terdengar di komunitas.

Akankah Halo Menemukan Jalannya Lagi?

Masih ada harapan, tapi dengan syarat: 343 Industries dan Microsoft harus berani menengok ke belakang. Bukan untuk mundur, tapi untuk mengingat fondasi yang dulu membesarkan Halo—spiritualitas, konflik batin, dan tema eksistensial yang digali dengan halus tapi dalam.

Halo butuh kembali jadi kisah tentang lebih dari sekadar senjata plasma dan alien. Ia butuh mengangkat lagi ide-ide besar: soal iman, soal keselamatan, soal harapan dalam kegelapan. Kalau tidak? Franchise ini akan terus berjalan... tapi tanpa arah dan tanpa jiwa.


Penutup: Halo, Kau Masih di Sana?

Yang bikin Halo istimewa bukan cuma gameplay atau grafik. Tapi karena ia pernah bikin kita mikir soal hidup, mati, dan hal-hal yang lebih besar dari diri sendiri. Sekarang, ketika semua itu dikaburkan oleh ambisi untuk terlihat relevan secara sosial, apa yang tersisa?

Aku cuma bisa berharap—dan berdoa—bahwa suatu hari Halo akan kembali menemukan cahayanya. Bukan cahaya dari trending topic atau kampanye sosial media, tapi dari warisan naratif dan spiritual yang dulu membuatnya bersinar di tengah gelapnya luar angkasa.

Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama