Activision Harus Stop Rilis Call of Duty Tiap Tahun demi Monetisasi dan Jualan Skin

Aku nggak mau terdengar kayak orang yang cuma nyinyir, tapi coba deh kamu perhatiin. Setiap tahun, Activision selalu datang lagi dengan judul baru Call of Duty. Dari jauh mungkin kelihatan keren, penuh aksi, cinematic, dan marketing yang menggoda, tapi kalau kita lihat lebih dekat, pola yang sama terus berulang. Game baru dirilis, ada mode multiplayer, ada zombies, campaign-nya cinematic, lalu beberapa bulan kemudian datang battle pass baru, skin baru, dan event baru yang fokusnya lagi-lagi ke monetisasi. Rasanya kayak sebuah siklus bisnis yang nggak lagi bicara soal “membuat game bagus”, tapi lebih ke “gimana caranya bikin pemain terus buka dompet”.

Aku tahu, industri game memang bisnis. Tapi ketika bisnis itu mulai melupakan esensi gamenya sendiri, di situlah masalahnya dimulai. Dan aku rasa, Call of Duty sudah lama melewati garis itu.


Rilis Tahunan yang Kehilangan Jiwa

Dulu, waktu Call of Duty masih terasa segar dan ambisius, setiap rilis tahunan membawa sesuatu yang berbeda. Ada yang ngasih inovasi besar di gameplay, ada yang ubah latar dan tone cerita, bahkan ada yang memperkenalkan teknologi baru di engine-nya. Tapi sekarang, game ini terasa kayak mesin produksi yang hanya ganti baju. Semua berputar di siklus yang sama: rilis di akhir tahun, marketing besar-besaran, hype sesaat, lalu setelah itu tenggelam di bawah timbunan skin dan konten seasonal yang sama bentuknya dengan tahun sebelumnya.

Yang bikin miris, developer kadang nggak dikasih waktu cukup buat nyelesaiin game-nya dengan benar. Banyak bug, performa anjlok, dan optimasi seadanya. Hasilnya, kita dapat produk yang belum matang, tapi tetap dijual dengan harga penuh. Rasanya kayak Activision lebih peduli ke tanggal rilis dan laporan keuangan kuartal, bukan ke pengalaman pemain yang udah bayar mahal buat main.


Monetisasi yang Semakin Agresif

Kalau kamu main Call of Duty modern, kamu pasti tahu gimana invasifnya sistem monetisasi mereka sekarang. Dulu, DLC atau expansion masih terasa seperti tambahan wajar. Sekarang, semuanya diubah jadi sistem battle pass, microtransaction, dan kosmetik premium. Skin karakter, senjata, emblem, efek tembakan — semua jadi produk yang bisa dijual. Nggak masalah sih kalau itu cuma tambahan kecil, tapi masalahnya, porsi perhatian developer sering kali justru lari ke hal-hal seperti itu.

Kamu pasti pernah lihat update besar yang lebih menyoroti skin kolaborasi dengan brand atau franchise lain daripada perbaikan bug atau balancing senjata. Semua serba berbau marketing. Dan kalau kamu perhatikan lebih dalam, banyak konten yang sebenarnya bisa dikasih gratis malah dijadikan bagian dari season pass atau limited-time bundle. Ini bukan lagi soal memberi pilihan pada pemain, tapi menciptakan sistem di mana kamu dipancing buat beli karena takut ketinggalan.

Yang paling ironis, semakin banyak uang yang dihasilkan dari monetisasi seperti ini, justru semakin kecil dorongan mereka untuk memperbaiki inti gamenya. Selama pemain terus beli skin, kenapa harus repot memperbaiki hal yang lebih dalam, kan?


Kualitas yang Tergerus Karena Kejar Target

Setiap tahun Activision memaksa timnya untuk mengejar tenggat waktu rilis baru. Jadwal yang ketat itu mematikan kreativitas dan menghancurkan semangat inovasi. Developer yang seharusnya bisa fokus menciptakan pengalaman baru justru sibuk memastikan rilis tetap sesuai kalender. Akibatnya, hal-hal penting seperti desain map, performa server, AI musuh, bahkan cerita campaign sering terasa terburu-buru dan asal jadi.

Kamu mungkin juga ngerasain, betapa banyak fitur lama yang cuma dikemas ulang. Map klasik “dibangkitkan” lagi, mode lama dimunculkan ulang dengan nama baru, dan sistem progression-nya dirombak bukan karena ingin lebih baik, tapi supaya pemain lebih lama grinding dan akhirnya tergoda beli shortcut. Semua terasa seperti upaya untuk memeras waktu dan uang pemain, bukan memberi pengalaman yang lebih memuaskan.

Yang paling nyesek, game kayak Call of Duty punya potensi luar biasa. Tapi dengan sistem kerja kayak begini, hasilnya sering kali tidak sebanding dengan nama besarnya.


Komunitas yang Mulai Kehilangan Kepercayaan

Call of Duty punya komunitas pemain yang besar dan setia, tapi bahkan kesetiaan pun ada batasnya. Banyak pemain lama yang akhirnya menyerah karena merasa franchise ini nggak lagi menghargai mereka. Setiap tahun mereka beli dengan harapan “mungkin kali ini lebih baik”, tapi ujungnya sama saja. Patch demi patch keluar, balancing masih amburadul, dan fokus tetap di kosmetik baru.

Komunitas yang dulu jadi salah satu kekuatan utama seri ini sekarang terpecah. Ada yang bertahan karena cinta nostalgia, ada yang main cuma buat fun sesaat, dan banyak juga yang pindah ke game lain yang dianggap lebih jujur sama pemainnya. Dan anehnya, Activision kayak nggak peduli. Selama angka penjualan masih tinggi, mereka nggak merasa perlu berubah.


Alasan Publisher yang Nggak Lagi Masuk Akal

Sering banget Activision atau publisher besar lain berdalih bahwa rilis tahunan itu karena “permintaan pasar”. Tapi jujur aja, itu cuma setengah kebenaran. Yang dimaksud “pasar” di sini bukan pemain, tapi investor. Selama laporan keuangan menunjukkan kenaikan pendapatan dari item digital dan microtransaction, model kayak gini akan terus dipertahankan.

Mereka juga sering bilang bahwa monetisasi dibutuhkan untuk mendukung pengembangan dan maintenance server. Masalahnya, pendapatan dari penjualan game dan battle pass saja sebenarnya sudah sangat besar. Jadi alasan itu terdengar lebih seperti pembenaran daripada kebutuhan nyata. Kalau memang uang sebanyak itu benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas game, kita pasti bisa melihat hasilnya. Tapi faktanya, bug dan masalah teknis tetap berulang setiap tahun.


Saatnya Berhenti dan Ambil Napas

Aku rasa yang paling dibutuhkan Activision sekarang bukan lagi ide marketing baru, tapi keberanian buat berhenti sejenak. Satu tahun tanpa rilis Call of Duty nggak akan bikin dunia kiamat. Justru bisa jadi kesempatan emas untuk refleksi, riset, dan inovasi. Kasih waktu ke developer buat benar-benar menciptakan sesuatu yang layak disebut “generasi baru”, bukan sekadar repackage dari engine lama dengan kosmetik baru.

Bayangin aja kalau mereka bisa fokus selama dua atau tiga tahun penuh buat satu game dengan kualitas tinggi, dengan performa yang stabil, konten yang matang, dan monetisasi yang masuk akal. Bukannya mustahil, tapi mereka harus mau keluar dulu dari lingkaran setan rilis tahunan itu.


Penutup — Aku Nggak Benci Call of Duty, Aku Cuma Kangen Versi Aslinya

Aku nulis ini bukan karena benci. Aku nulis karena aku kangen masa di mana Call of Duty terasa seperti karya, bukan produk. Dulu setiap kali ada rilis baru, rasanya excited. Sekarang yang muncul malah was-was: bug apa lagi yang bakal ada, servernya kuat nggak, dan seberapa agresif monetisasinya kali ini.

Kamu juga mungkin ngerasa hal yang sama. Franchise sebesar ini nggak seharusnya terjebak dalam pola kejar uang semata. Mereka bisa bikin lebih dari ini — kalau aja berani berhenti sebentar, menatap ke belakang, dan ingat lagi kenapa dulu pemain jatuh cinta pada Call of Duty.

Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama