Boruto Adalah Sekuel yang Justru Merusak Naruto

Sebagai seseorang yang tumbuh besar bersama Naruto, aku ngerasa ada semacam ikatan emosional sama kisahnya—perjalanan dari bocah yatim yang diremehkan semua orang jadi pahlawan desa yang disegani. Naruto itu bukan cuma anime shounen biasa. Ia adalah kisah perjuangan, kerja keras, dan tekad yang gak pernah padam. Tapi begitu Boruto muncul… segalanya mulai terasa berbeda. Bukan berkembang, tapi justru seperti menurun drastis. Kayak ngeliat lukisan indah yang dipaksa dicoret-coret ulang sama orang yang gak ngerti maknanya.

Jadi mari kita bahas kenapa Boruto bisa dianggap sebagai kesalahan besar dalam waralaba Naruto. Bukan cuma karena ekspektasi tinggi, tapi juga karena cara eksekusinya yang terasa kurang hormat terhadap fondasi yang sudah dibangun Masashi Kishimoto bertahun-tahun lamanya.


Boruto Tak Pernah Memiliki Identitas Sendiri

Masalah pertama dan paling kentara dari Boruto adalah... dia bukan Naruto. Kedengarannya simpel, tapi ini penting banget. Boruto hidup dalam bayang-bayang ayahnya. Namun, bukan dengan cara menghormati atau membangun sesuatu yang baru, melainkan lebih sering seperti “ngambek karena ayahnya sibuk”.

Naruto dulu adalah bocah kesepian, dicemooh, gak punya siapa-siapa. Tapi dia tetap tersenyum, berjuang, dan bikin semua orang akhirnya percaya padanya. Sementara Boruto? Dia anak Hokage, hidup nyaman, dikelilingi teman-teman, tapi malah ngeluh terus. Dia gak pernah benar-benar terlihat punya alasan kuat untuk bertarung selain karena… ya karena itu judul anime-nya. Ini bikin penonton kesulitan buat peduli. Kalau protagonisnya aja gak punya arah yang jelas, gimana kita bisa peduli sama konflik yang dia hadapi?


Cerita yang Kehilangan Arah dan Taruhannya

Naruto adalah kisah tentang perjuangan panjang. Dari ujian Chunin sampai Perang Dunia Ninja Keempat, tiap langkahnya punya risiko besar. Setiap pertarungan bisa berarti hidup dan mati, dan penonton diajak menyaksikan karakter tumbuh, menderita, dan bangkit lagi.

Sementara Boruto? Taruhannya selalu terasa ringan. Bahkan saat nyawa dipertaruhkan, atmosfernya gak pernah benar-benar terasa genting. Banyak momen penting yang terasa... datar. Seolah-olah semuanya hanya filler yang disamarkan sebagai canon. Bahkan saat konsep besar seperti Otsutsuki dimunculkan, rasanya malah menjauhkan anime ini dari kekhasan Naruto yang grounded dan emosional. Dunia ninja berubah jadi dunia alien dan kekuatan dewa, dan kita malah makin sulit relate.


Transformasi Dunia Ninja yang Terlalu Cepat

Salah satu aspek yang membuat Naruto istimewa adalah dunia ninja-nya. Ada sistem yang jelas, teknik yang masuk akal (dalam logika anime), dan politik antar desa yang kompleks. Tapi di Boruto? Dunia ninja berubah jadi kota modern lengkap dengan game portable, kereta cepat, dan laptop. Tiba-tiba ninja punya teknologi canggih yang bikin jutsu terasa gak relevan. Apa gunanya latihan bertahun-tahun kalau ada alat yang bisa nge-cast Rasengan instan? Dunia Naruto yang dulu punya cita rasa unik—perpaduan tradisional dan fiksi—kini kehilangan identitas itu. Boruto memperkenalkan dunia modern, tapi dengan cara yang ngebuat esensi dunia ninja jadi kabur.


Karakter Lama yang Diabaikan atau Dirusak

Kita semua tahu, Naruto bukan hanya soal Naruto. Ada Sasuke, Kakashi, Sakura, Shikamaru, dan banyak lagi karakter yang tumbuh bersama kita. Tapi Boruto sering memperlakukan mereka cuma sebagai hiasan atau malah jadi korban.

Sasuke? Jadi bapak-bapak misterius yang ngilang-ngilang terus. Naruto? Jadi sosok Hokage yang selalu sibuk dan kehilangan pesona khasnya. Bahkan karakter kayak Rock Lee hampir gak punya porsi penting.

Yang lebih menyakitkan? Sakura, Hinata, Ino, dan para karakter cewek dari generasi lama nyaris gak punya pengaruh apa-apa di Boruto. Seolah-olah mereka sudah selesai dan tinggal ditempatkan di latar belakang aja. Alih-alih menyeimbangkan generasi lama dan baru, Boruto malah seakan ingin menghapus yang lama dan memaksakan yang baru.

Sumber :MSN


Terlalu Sibuk Mengejar "Power Level"

Satu kesalahan fatal lainnya adalah: Boruto terjebak dalam siklus shounen klise—semakin kuat, semakin absurd. Konsep "power scaling" jadi over the top. Dulu, Naruto butuh puluhan episode buat menguasai satu jurus. Sekarang, Boruto bisa dapat kekuatan Dewa hanya karena keturunan atau insiden random. Rasanya seperti semua perjuangan karakter lama jadi gak berarti.

Kawaki, Karma, Momoshiki, Isshiki—semua datang dengan kekuatan luar biasa tapi narasi yang lemah. Penonton akhirnya gak lagi merasa terikat secara emosional karena semuanya terasa seperti kompetisi angka: siapa yang lebih kuat minggu ini?


Apakah Boruto Masih Bisa Diselamatkan?

Meskipun Boruto banyak menuai kritik, bukan berarti semuanya buruk. Ada juga momen yang solid. Pertarungan Naruto dan Sasuke vs Momoshiki, kematian Kurama, hingga alur Timeskip dengan Boruto dewasa cukup bikin hype.

Tapi masalah dasarnya tetap: Boruto kehilangan hati yang membuat Naruto dicintai. Dia terlalu sibuk tampil keren, terlalu fokus pada kekuatan, dan lupa bagaimana menyentuh hati penonton. Agar Boruto bisa bangkit, dia harus menemukan identitasnya sendiri. Harus punya perjuangan yang nyata, konflik yang relevan, dan dunia yang hidup. Bukan cuma menjual nostalgia atau desain karakter baru.


Penutup: Ketika Warisan Justru Membebani

Boruto punya potensi, tapi terlalu dibebani warisan besar. Bukannya menghormati dan membangun di atas pondasi Naruto, Boruto justru terlihat seperti ingin melompat sejauh mungkin… dan jatuh di tengah jalan.

Aku gak bilang kamu gak boleh suka Boruto. Tapi sebagai seseorang yang mencintai Naruto, rasanya wajar kalau kita mengkritisi arah cerita ini. Karena pada akhirnya, warisan seharusnya dirawat, bukan dirusak.

Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama