Kamu mungkin udah tahu kalau serial animasi anak-anak legendaris, Upin & Ipin, akhirnya punya video game sendiri. Judulnya Upin & Ipin Universe, dan bisa kamu mainkan di berbagai platform, termasuk Steam. Buat fans setia si kembar botak, ini seharusnya jadi kabar bahagia—sayangnya, realitanya jauh dari ekspektasi.
Buat aku pribadi, Upin & Ipin Universe adalah lebih dari sekadar game gagal. Ini adalah simbol dari masalah besar yang udah lama menjangkiti industri game modern. Tampilan luar makin cakep, tapi isinya makin kosong. Dan Upin & Ipin Universe jadi contoh gamblangnya.
Grafik Indah tapi Cuma Kulit Luar
Saat pertama lihat trailer atau screenshot game ini, jujur aja, aku cukup kaget. Dari sisi visual, game ini nggak kelihatan murahan. Karakter-karakter familiar seperti Upin, Ipin, Kak Ros, dan teman-temannya ditampilkan dengan model 3D yang rapi. Kampung Durian Runtuh juga divisualisasikan dengan cukup detail.
Tapi begitu mulai main? Semua pesona itu langsung runtuh. Grafik yang bagus ternyata nggak didukung dengan kualitas gameplay atau isi yang benar-benar berarti. Rasanya kayak beli kue dengan dekorasi cantik tapi dalamnya hambar. Dan ini bukan cuma masalah kecil—ini adalah masalah besar yang sering kita temuin di banyak game modern sekarang. Studio lebih fokus ke impresi awal, ke “first look”, demi bisa jualan cepat. Tapi mereka lupa, gamer nggak cuma mainin grafik. Kita butuh sesuatu yang lebih.
Harga Selangit, Isinya Seret
Ini bagian yang bikin banyak orang angkat suara: harga gamenya mencapai Rp 650 ribu di Steam. Itu angka yang bahkan lebih mahal dari banyak game indie berkualitas tinggi, dan bisa sejajar dengan game AAA lain yang udah punya reputasi matang.
Tapi Upin & Ipin Universe? Gamenya penuh bug, kontennya minim, dan nggak ada sesuatu yang benar-benar memikat dari sisi cerita atau gameplay. Kalau ini game early access, mungkin orang masih bisa maklum. Tapi game ini dijual penuh, dan itu artinya ekspektasinya juga penuh. Kondisi ini ngingetin kita bahwa ada kecenderungan aneh di industri game zaman sekarang: harga tinggi nggak selalu sebanding dengan kualitas. Banyak studio ngerasa cukup kasih visual menarik dan lisensi populer, lalu berharap gamer bakal langsung beli. Tapi kenyataannya? Gamer makin cerdas.
Minim Cerita, Minim Jiwa
Salah satu hal yang paling mengecewakan dari Upin & Ipin Universe adalah ketiadaan narasi yang kuat. Padahal serial animasinya dikenal karena cerita-cerita sederhana yang menyentuh hati. Tapi di game ini? Semua itu seperti hilang begitu saja. Nggak ada struktur cerita yang jelas, nggak ada perkembangan karakter, dan bahkan misi-misi di dalam game terasa seperti diisi seadanya. Alih-alih membawa kita lebih dalam ke dunia Upin & Ipin, game ini malah terasa seperti museum karakter—bisa lihat-lihat, tapi nggak ada yang hidup.
Dan ini adalah contoh lain dari kesalahan umum game modern: melupakan pentingnya storytelling. Sekarang banyak game yang terlalu sibuk jual tampilan dan fitur, tapi lupa bahwa kekuatan utama video game terletak pada bagaimana dia bisa membuat pemainnya merasa terlibat dan terhubung secara emosional.
Banyak Bug, Tapi Dibilang Wajar
Saat gamer mulai nemuin banyak bug di game ini, respons dari akun media sosial resmi Upin & Ipin cukup mengherankan. Mereka bilang, “Tim pengembang sedang bekerja memperbaiki masalah teknis yang ditemukan.”
Kedengarannya profesional? Ya. Tapi di balik pernyataan itu, kita jadi sadar bahwa game ini sebenarnya belum siap rilis, tapi entah kenapa tetap dipaksakan keluar. Apakah karena tekanan jadwal? Atau karena ingin segera monetisasi momen? Yang jelas, ini bukan hal baru di industri game modern. Kita udah sering banget lihat game yang rilis dalam kondisi setengah matang, lalu diperbaiki lewat update atau patch besar. Tapi seharusnya, player bukan jadi kelinci percobaan.
![]() |
Sumber: Instagram Official Upin dan Ipin |
Satu hal yang menarik (dan cukup mengganggu) dari situasi ini adalah cara tim pengembang merespons kritik dari komunitas. Dalam salah satu komentar resmi yang diunggah oleh akun Instagram @upinipinofficial, mereka menjawab keluhan soal bug dan harga dengan nada yang agak defensif. Mereka menulis bahwa tim game bahkan belum tidur sejak tanggal peluncuran, bahwa patch sedang diusahakan, dan bahwa harga game ini sudah termasuk standar, jadi tidak terlalu mahal. Mereka juga bilang kalau fans lebih memilih beli game lain, ya tidak apa-apa—tapi tetap menekankan bahwa game Upin & Ipin hanya ada satu, dengan elemen seperti Kampung Durian Runtuh yang tak bisa ditemukan di game lain.
Masalahnya, alih-alih membuka ruang dialog yang sehat, pernyataan ini terdengar seperti pembelaan yang terlalu keras, seolah-olah fans tidak berhak kecewa. Kalimat seperti “jadi harap sangat terus support dan stop komen negative” makin memperkuat kesan kalau tim developer belum siap menghadapi kritik dengan terbuka.
Padahal, menerima kritik secara sehat dan menunjukkan sikap terbuka untuk perbaikan adalah bagian penting dalam membangun reputasi jangka panjang, terutama untuk game dengan basis komunitas yang kuat seperti ini. Respons seperti ini justru memperlihatkan masalah lain dalam industri game modern: banyak developer atau publisher belum bisa membedakan antara hate dan kritik konstruktif. Ketika semua komentar negatif dianggap sebagai serangan, maka proses evaluasi diri akan mandek.
Kesimpulan: Industri Game Butuh Introspeksi
Upin & Ipin Universe bisa jadi bukan satu-satunya game yang gagal memenuhi ekspektasi, tapi dia jadi contoh nyata bahwa ada yang salah dengan cara banyak game modern dikembangkan dan dijual hari ini. Fokus ke visual dan brand besar bukan jaminan sukses. Gamer sekarang nggak cuma beli nama—mereka cari pengalaman. Dan kalau pengalaman itu penuh bug, kosong cerita, dan terlalu mahal? Maka game itu layak dikritik, sekeras-kerasnya.
Aku pribadi masih berharap tim pengembang bisa belajar dari kasus ini. Tapi yang lebih penting, kita sebagai gamer juga harus lebih kritis, nggak gampang terkecoh sama tampilan luar dan tetap menuntut kualitas yang layak atas harga yang kita bayar. Kalau kamu sendiri gimana? Pernah beli game yang kelihatan meyakinkan di luar, tapi ternyata isinya bikin nyesel?