Pernah nggak sih kamu main game baru yang katanya revolusioner, inklusif, dan progresif… tapi pas dimainin malah ngebosenin, nggak punya jiwa, dan gameplay-nya gitu-gitu aja? Nah, hal ini nggak datang tiba-tiba. Industri game sekarang lagi demam mengejar apa yang mereka sebut sebagai "modern audience" — istilah yang terdengar keren, tapi sebenarnya penuh ilusi. Developer dan publisher besar seperti Ubisoft, EA, bahkan Sony pun ikut-ikutan ngejar audiens ini. Tapi masalahnya, yang mereka kejar itu… belum tentu benar-benar ada, atau minimal nggak seperti yang mereka bayangkan.
Siapa Sih "Modern Audience" Itu?
Yang dimaksud “modern audience” di sini bukan sekadar pemain muda atau pemula, tapi lebih ke audiens yang punya pandangan sosial progresif, sering menuntut representasi karakter yang beragam dari sisi gender, ras, orientasi seksual, dan latar belakang. Mereka juga cenderung lebih peduli pada pesan moral atau narasi sosial ketimbang elemen-elemen mendasar seperti gameplay atau desain dunia.
Kelompok ini cukup vokal di media sosial, dan karena suaranya sering viral, developer lalu menganggap mereka sebagai pasar utama. Di situlah ilusi mulai terbentuk: perusahaan mengira bahwa kalau mereka memenuhi tuntutan kelompok ini, maka game akan sukses secara luas. Padahal belum tentu begitu.
Representasi Itu Penting, Tapi Jangan Dipaksakan
Aku nggak anti representasi. Nggak ada yang salah dengan karakter LGBTQ, karakter kulit hitam, perempuan kuat, atau tokoh non-biner. Justru, game bisa banget jadi media powerful buat ngebuka perspektif baru. Tapi masalahnya, banyak game modern bikin representasi ini terasa dipaksakan.
Karakternya sering terasa seperti alat kampanye, bukan tokoh yang hidup dalam dunia game itu sendiri. Cerita pun terasa dibentuk bukan berdasarkan kebutuhan naratif, melainkan demi memuaskan ekspektasi kelompok tertentu yang dianggap “progresif”. Hasilnya? Game terasa hambar. Dunia gamenya kosong secara emosional. Karakternya datar dan tidak memorable. Pemain merasa sedang dipaksa memahami ideologi tertentu, bukan menikmati permainan.
Audiens Asli Merasa Ditinggalkan
Buat kamu yang sudah main game dari kecil sampai sekarang, pasti bisa ngerasain perbedaannya. Dulu game dibuat buat bikin kamu tenggelam dalam gameplay yang kuat, eksplorasi yang menarik, dan karakter yang terasa nyata. Sekarang, banyak game lebih fokus pada citra: apakah ini cukup inklusif? Apakah desain karakternya sudah sesuai tren sosial?
Gamer lama, yang dulu jadi pondasi komunitas, sekarang malah sering dianggap “toxic” atau “kolot” hanya karena mereka mengkritik arah baru yang tidak sesuai selera mereka. Padahal, mereka ini justru yang selama ini dukung dan beli game secara konsisten. Ketika game berubah terlalu jauh dari akarnya demi memuaskan kelompok vokal tapi kecil, maka yang terjadi adalah alienasi terhadap pemain asli.
Contoh Game yang Jatuh karena Ilusi Ini
Concord muncul sebagai contoh bagaimana usaha keras untuk terlihat “modern” malah menghasilkan sesuatu yang tidak punya karakter. Trailer-nya dipenuhi visual ala Guardians of the Galaxy dengan tone komedi ringan dan karakter-karakter penuh checklist keberagaman, tapi tidak ada satu pun yang terasa menarik. Gameplay-nya generik, dan dunia yang dibangun terasa seperti tiruan dari sesuatu yang sudah lebih dulu gagal. Game ini langsung disambut dingin oleh gamer karena tidak ada jiwa yang terasa di balik semua gaya.
Dragon Age: The Veilguard, yang awalnya diantisipasi sebagai kembalinya RPG klasik penuh pilihan berat, malah tampil dengan gaya visual kartun, tone cerita ringan, dan karakter-karakter yang terkesan hanya ingin terlihat unik dan inklusif, tapi tanpa kedalaman emosional. Bayangin kamu main gamenya disebut bigot dan dikasih ceramah sama karakter game tentang non binary. Bagi banyak fans lama Dragon Age, ini terasa seperti pengkhianatan terhadap seri yang dulu dikenal karena narasi gelap dan dunia yang penuh intrik politik.
![]() |
Sumber: YouTube |
Developer Kehilangan Fokus: Dari Game ke Agenda
Masalah utamanya adalah ketika game mulai dibuat untuk menyampaikan agenda, bukan pengalaman bermain. Medium ini jadi kehilangan rohnya. Game bukan sekadar panggung ideologi — ia adalah dunia tempat pemain harusnya bebas menjelajah, mencoba, gagal, menang, dan tenggelam dalam cerita. Tapi semua itu hilang ketika pesan sosial yang kaku dan eksplisit jadi prioritas utama.
Saat developer lebih peduli apakah karakternya “cukup inklusif” daripada apakah game-nya menyenangkan, maka yang lahir bukanlah karya yang kuat, tapi produk yang kering, dibuat bukan dari passion tapi dari rasa takut disalahkan.
Modern Audience Itu Minoritas Vokal, Bukan Mayoritas Finansial
Yang sering bersuara keras di internet bukan berarti mayoritas di pasar nyata. Banyak dari mereka yang aktif membahas game, tapi belum tentu membelinya atau memainkannya. Sementara gamer-gamer setia, yang lebih senyap tapi loyal, justru sering merasa dilupakan.
Developer lupa bahwa uang datang dari gamer yang main, bukan dari yang ngetweet. Ketika fokus terlalu berat ke pleasing kelompok vokal yang nggak pernah puas, maka pasar nyata perlahan menghilang. Mereka pindah ke game lain, bahkan kadang ke game lawas atau buatan studio kecil yang tetap menjaga kualitas dan orisinalitas.
Penutup: Industri Game Harus Bangun dari Ilusi
Perubahan itu penting. Representasi juga penting. Tapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana developer menjaga identitas gamenya sendiri. Jangan kehilangan arah demi mengejar suara-suara sosial yang bisa berubah setiap bulan.
Kalau developer terus mengejar modern audience tanpa menyadari bahwa yang mereka tinggalkan adalah komunitas inti gamer sejati, maka mereka akan terus jatuh ke lubang yang sama: game flop, hype mati, dan brand rusak. Karena pada akhirnya, game itu harus seru, menyenangkan, dan penuh jiwa. Bukan sekadar moral statement dalam bentuk digital.