Fiksi Tapi Merusak: Bahaya Seksualisasi Anak di Anime

 

Sebagai pecinta anime sejak lama, ada satu hal yang bikin aku muak dan makin sulit menikmati beberapa judul—yakni seksualisasi karakter yang jelas-jelas masih di bawah umur. Entah kenapa, sebagian kreator anime masih menganggap hal ini sebagai “gaya khas”, “humor”, atau bahkan “fan service”. Padahal kenyataannya, ini adalah bentuk normalisasi fantasi yang menjijikkan. Dan yang paling ngeselin? Banyak fans yang malah bela-belain, seolah ini bukan masalah besar.


“Tapi Dia Kan 1000 Tahun Umurnya!” – Alasan Klise yang Menipu

Aku yakin kamu juga pernah dengar argumen ini: “Dia bukan anak-anak, dia itu makhluk immortal berusia 1000 tahun!” Biasanya ini dipakai buat ngebela karakter dengan tampilan anak kecil (loli/shota), tapi diperlakukan layaknya objek seksual.

Contoh paling ikonik adalah Shiro dari anime No Game No Life. Karakter ini berumur 11 tahun, punya tubuh kecil khas anak-anak, dan walau hubungan dia dengan Sora nggak eksplisit, banyak fan service visual yang menjurus. Bahkan banyak scene yang dibuat ambiguous demi memenuhi "fantasi" tertentu. Itu jelas nggak bisa dimaklumi cuma karena desainnya lucu atau ceritanya “fiksi”.


Contoh Kasus Lain: Anime yang Keterlaluan

  1. Eromanga Sensei
    Anime ini jadi contoh sempurna betapa industri anime bisa sebebas itu mengeksploitasi karakter anak kecil. Sagiri, adik tiri protagonis, masih SMP dan digambarkan sebagai ilustrator erotis. Banyak adegan dia mandi, pakai lingerie, dan situasi canggung yang dibuat sebagai bahan “komedi”. Tapi apa lucunya melihat anak kecil dalam konteks seksual?

  2. Kodomo no Jikan
    Kalau kamu belum pernah dengar anime ini, anggap saja kamu beruntung. Ini anime yang hampir nggak bisa tayang di Jepang karena kontroversinya. Ceritanya soal anak SD yang punya ketertarikan seksual ke gurunya. Nggak ada pembenaran, ini benar-benar disturbing.

  3. Monogatari Series (Nisemonogatari)
    Salah satu scene paling terkenal (dan dikecam) adalah adegan sikat gigi antara Araragi dan adik perempuannya. Walau ceritanya aneh dan absurd, tetap saja, cara penyajiannya terlalu mengarah ke fetishisasi incest dengan karakter remaja. Banyak yang anggap ini “seni” atau “unik”, tapi coba bayangkan jika itu terjadi di kehidupan nyata.


Ini Bukan Masalah “Selera”, Ini Soal Etika

Beberapa orang mungkin akan bilang, “Ya namanya juga anime, nikmati aja.” Tapi menurutku, justru karena anime dinikmati banyak orang dari segala usia, harusnya ada tanggung jawab moral dari kreator. Seksualisasi anak-anak bukan cuma menjijikkan, tapi juga membuka ruang bagi normalisasi pedofilia dalam budaya pop.

Dan kalau kamu mikir “tapi ini fiksi”, perlu kamu tahu bahwa fiksi tetap bisa memengaruhi cara pikir dan selera seseorang. Media, termasuk anime, punya kekuatan membentuk persepsi sosial—baik atau buruk.


Dampak Nyata di Dunia Nyata

Nggak sedikit laporan soal pelaku kejahatan seksual anak yang ternyata mengonsumsi konten seksual anak dalam bentuk fiksi dulu—termasuk anime atau manga. Jadi meskipun orang-orang beralasan "itu hanya gambar", kenyataannya bisa memengaruhi dunia nyata. Jepang sendiri beberapa kali dikritik internasional karena terlalu longgar dalam regulasi konten begini.


Fans Juga Punya Peran

Sebagai fans, kita sebenarnya punya kekuatan untuk mengubah arah industri ini. Kalau kamu juga risih dengan hal-hal kayak gini, jangan diam aja. Suarakan. Tinggalkan review negatif, jangan beli merch-nya, dan dukung anime-anime yang lebih sehat dalam menyajikan karakter.

Contohnya? Coba lihat anime kayak Made in Abyss atau Spy x Family. Walau ada karakter anak-anak, penanganan mereka lebih manusiawi, dan nggak dijadikan objek fantasi seksual. Bisa kok bikin anime bagus tanpa harus menjual tubuh anak kecil.


Penutup: Saatnya Kita Bicara Jujur

Aku tahu topik ini nggak nyaman, dan mungkin bakal ada yang bilang aku “terlalu sensitif” atau “nggak ngerti budaya Jepang”. Tapi menurutku, justru karena kita peduli sama anime, kita harus berani mengkritik hal-hal yang bikin rusak.

Kalau anime ingin terus berkembang sebagai media yang dihormati secara global, maka budaya seksualisasi karakter di bawah umur harus dihentikan. Bukan cuma demi generasi penonton yang lebih sehat, tapi juga demi menjaga martabat medium itu sendiri.

Lorenime

Seorang cowo biasa yang kebetulan suka main games khususnya Resident Evil

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama